Keadaan Mekkah Sebelum Nabi Dilahirkan

Masih ada hubungan erat dengan dua suku besar yang berkuasa di Mekkah yaitu suku Jurhum dan suku Khuza’ah. Suku Jurhum adalah suku Arab yang paling pertama masuk ke Mekkah, datang dari negeri Yaman, dan nabi Ismail ‘alaihissalaam menikah dengan anak dari kepala suku Jurhum. Seiring berjalannya waktu, datang lagi suku Arab yang lain bernama suku Khuza’ah, yang berusaha merebut Mekkah dari suku Jurhum dan akhirnya menguasai Mekkah.
 
Pada saat suku Jurhum dikalahkan, mereka menimbun air zam-zam, sehingga suku Khuza’ah yang berkuasa setelahnya di Mekkah selama kurang lebih 300 atau 500 tahun (perselisihan pendapat di antara para ahli sejarah), mereka tidak memiliki sumber air (zam-zam). Oleh karena itu, suku Khuza’ah mendatangkan air dari luar. Kemudian muncul juga kisah Amru bin Luhay yang pertama memasukkan berhala ke Mekkah. Karena bingung tidak ada air di Mekkah, akhirnya disembahlah patung-patung yang didatangkan tadi karena berharap ada air. Ini rentetan sejarah yang lalu.
 
Kisah Qushay bin Kilab
Ia adalah seorang tokoh Mekkah, turunan dari Fihr. Fihr ini adalah Quraisy.
Note: Orang-orang Arab itu, kalau ada di antara tokoh masyarakat yang punya keturunan banyak, punya nama baik, punya kekayaan, hampir semua kebaikan-kebaikan tersebut ada padanya, maka diberilah julukan dari nama dia sebagai nama suku. Misal: Quraisy. Dari mana asal Quraisy? Dia adalah nama orang, seseorang bernama Fihr. Orangnya kaya raya, punya keturunan banyak serta dia dituakan dan diistimewakan di Mekkah. Karena keturunannya banyak, pengaruhnya besar, maka dinisbatkanlah suku orang-orang Mekkah ke dia (Fihr), padahal Fihr sebenarnya hanya salah satu dari masyarakat Mekkah. Begitulah seterusnya sampai hari ini.
 
Qushay bin Kilab termasuk salah satu tokoh masyarakat Mekkah yang sangat dikenal dan punya kedudukan, nama baik, wibawa, keturunan dan semua kebaikan berkumpul padanya. Ia berasal dari keturunan suku Jurhum, suku Arab pertama yang masuk ke Mekkah pada saat nabi Ismail dan ibunya Hajar ada di sana sendirian.
 
Waktu itu, bukan suku Jurhum yang berkuasa, tapi suku Khuza’ah. Qushay bin Kilab ini akhirnya menikah dengan anak kepala suku Khuza’ah yang sedang berkuasa di Mekkah. Raja dari suku Khuza’ah waktu itu bernama Hulail. Hulail punya anak gadis, dinikahi oleh Qushay bin Kilab. Pada saat terjadi pernikahan tersebut, maka Qushay bin Kilab makin harum namanya. Selain dia punya kelebihan secara fisik, kekayaan, wibawa, dia juga turunan Jurhum yang dulu berkuasa di Mekkah, dan sekarang menikah dengan anaknya raja Mekkah dari suku Khuza’ah.
 
Ketika Hulail meninggal, maka Qushay bin Kilab ini menobatkan dirinya menjadi raja Mekkah menggantikan mertuanya. Karena Qushay bin Kilab berasal dari suku Jurhum sementara yang berkuasa sebelumnya (Hulail) dari suku Khuza’ah, maka suku Khuza’ah saat itu menolak. Walaupun Qushay anak menantu Hulail, suku Khuzaah tetap tidak terima karena menganggap masih ada anak-anak Hulail yang lain yang bisa menjadi raja Mekkah.
 
Akhirnya, Qushay bin Kilab mengumpulkan semua dari suku Jurhum terutama dari orang-orang Quraisy (turunan Fihr), hingga terbentuklah kekuatan. Suku Khuza’ah juga membentuk kekuatan. Maka hampir saja pada saat itu Mekkah berperang, artinya masyarakatnya jadi terbagi dua; suku Jurhum dan suku Khuza’ah. Tetapi, karena sudah banyak pernikahan yang terjadi antara mereka (suku Jurhum dan Khuza’ah), termasuk Qushay bin Kilab, yang dikhawatirkan jika terjadi peperangan akan menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga mereka, maka akhirnya disepakati, daripada perang, lebih baik mereka mencari satu orang penengah (hakim) yang menentukan, siapa kira-kira yang berhak memimpin Mekkah, apakah Qushay bin Kilab dari suku Jurhum menggantikan mertuanya atau kekuasaan dikembalikan ke suku Khuza’ah lagi (dari keturunan Hulail yang lain).
 
Ditemukanlah satu orang yang dituakan oleh orang-orang Arab saat itu, bernama Ya’mur bin Auf. Dia adalah seorang hakim yang masyhur di Mekkah. Umurnya sudah mencapai 100 tahun waktu itu. Hampir setiap masalah yang dihadapi oleh orang-orang Arab yang induknya berada di Mekkah, jika mereka tidak bisa pecahkan, mereka kembali ke orang ini (Ya’mur). Ketika diminta menjadi penengah, Ya’Mur mengatakan, “Baiklah… Datangkan saksi-saksi, 5 atau 6 dari suku Jurhum dan Khuza’ah”.
 
Saksi-saksi datang. Dibuatlah kesepakatan tertulis bahwasanya apapun yang Ya’mur bin Auf tentukan sebagai sebuah keputusan, harus disetujui, tidak boleh ada yang memberontak. Disepakatilah. Maka, Ya’mur pun mendatangkan Qushay bin Kilab, didudukkan. Kemudian didatangkan pula anak Hulail yang lain (namanya tidak disebutkan dalam buku sejarah) mewakili suku Khuza’ah.
 
Qushay ditanya oleh Ya’mur, “Apa permasalahanmu? Mengapa kamu tiba-tiba ingin menobatkan dirimu menjadi raja Mekkah? Apakah hanya karena kamu anak mantunya Hulail, raja Mekkah?”
Qushay menjawab, “Bukan. Jika dilihat dari history/sejarah, komunitas di Mekkah ini dibentuk oleh kakek saya yang bernama Ismail yang menikah dengan anak kepala suku Jurhum yang merupakan suku saya juga sementara suku Khuza’ah ini (suku mertua saya, Hulail, dan seluruh keturunannya) hanya datang, menyerang dan merebut Mekkah dari kami tanpa sebab.”
 
Ketika salah satu anak Hulail yang secara rentetan keturunan akan dijadikan pengganti Hulail ditanya, ia tidak bisa ngomong. Tokoh-tokoh suku Khuza’ah juga ditanya tak ada yang bisa menjawab, karena sejarahnya memang begitu; Khuza’ah datang memerangi Jurhum, dikalahkan, suku Jurhum keluar dari Mekkah.
Maka pada saat itu, tiba-tiba saja Ya’mur bin Auf mengatakan, “Semua kekuasaan Mekkah kembali ke Jurhum”. Mulai saat itulah, karena Qushay turunan dari Fihr (Quraisy), maka yang berkuasa di Mekkah bukan lagi Jurhum, tapi suku kecilnya (Quraisy). Ini sudah mulai masuk ke rentetan sejarah Mekkah. Ini kisahnya. Quraisy itu nama seorang tokoh bernama Fihr.
 
Dan itulah kisah mengapa Quraisy mendominasi kekuasaan di Mekkah.
Akhirnya, dari keputusan Ya’mur bin Auf, Qushay bin Kilab dipastikan menjadi raja Mekkah dan kembalilah semua kekuasaan kepada suku Jurhum, tepatnya yang berkuasa adalah turunan dari Quraisy. Qushay ini adalah salah satu dari kakek Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, jauh di atas Abdul Mutthalib. Nantinya, kita akan melihat, di Mekkah yang akan berkuasa adalah orang-orang Quraisy langsung dari turunan kakek nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Jadi, nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah turunan raja di Mekkah, bukan masyarakat biasa.
 
Qushay bin Kilab, setelah menjadi raja, ternyata memang orangnya sangat adil dan baik, sehingga suku-suku Khuza’ah pun banyak yang puas dengan kepemimpinannya. Dia membangun sebuah tempat yang bernama Daarun Nadwah di Mekkah, sebuah tempat besar tempat berkumpulnya masyarakat Mekkah. Apapun kegiatannya kembali ke Daarun Nadwah. Termasuk nanti ketika orang-orang Quraisy ingin membunuh dan mengusir nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari Mekkah, mereka berkumpul di Daarun Nadwah. Nah, yang membangun Daarun Nadwah ini adalah Qushay bin Kilab, raja dari suku Jurhum yang akhirnya ternobatkan menjadi raja setelah mertuanya meninggal.
 
Qushay bin Kilab dikaruniai Allah beberapa orang anak. Diantara sekian banyak anak-anaknya, yang terkenal (dalam buku-buku sejarah banyak disebutkan) adalah ‘Abdud Daar dan Abdul Manaf. Sebelum Qushay bin Kilab meninggal, ia melihat anak-anaknya yang lain ini punya kedudukan dan berhasil kecuali ‘Abdud Daar. ‘Abdud Daar, anak tertuanya ini tidak punya kekuatan, orangnya lemah secara fisik, tidak punya wibawa di masyarakat.
Untuk memberikan kedudukan yang baik buat anaknya, ‘Abdud Daar, maka Qushay menulis sebuah surat wasiat, “Kalau saya meninggal, yang menggantikan saya adalah ‘Abdud Dar, tidak boleh anak yang lain karena mereka sudah punya kedudukan di masyarakat, punya kekayaan dan keturunan”. Jadi, setelah Qushay meninggal, yang datang (menjadi raja) adalah ‘Abdud Dar.
 
‘Abdud Daar ini memegang semua yang berurusan dengan Mekkah. Waktu itu belum ada pembagian tugas seperti misalnya: memberi makan dan minum jemaah haji. Zaman dulu itu, orang-orang Quraisy punya kemuliaan, seluruh jemaah haji yang datang mereka yang memberi makan dan minum. Jadi jamaah haji cuma datang dengan pakaian ibadah mereka, nanti disana baru diberikan makanan dan minuman. Dan semua yang dibutuhkan dari kendaraan (unta, kuda) itu semua disiapkan oleh orang-orang Quraisy.
Qushay bin Kilab memberikan pemerintahan itu kepada ‘Abdud Daar, termasuk juga Daarun Nadwah, tempat pertemuan yang besar tadi. Berjalanlah kepemimpinan tersebut. Ringkas cerita, waktu ‘Abdud Daar meninggal, maka mulailah terjadi perselisihan di Mekkah. Anak-anaknya ‘Abdud Daar ingin meneruskan kerajaan itu, tapi anak dari Qushay bin Kilab (Abdul Manaf dan yang lain) menolak karena masih ada anak-anak Qushay yang lain. Mereka mengatakan dulu kerajaan diberikan kepada ‘Abdud Daar hanya untuk mengharumkan namanya karena dia tidak punya wibawa di masyarakat. Terjadilah perselisihan.
 
Karena perselisihan terjadi dan mereka hampir ribut, akhirnya disepakati pembagian tugas. Khusus untuk urusan Ka’bah; Qiswah/pembungkus ka’bah, mengurus mata air zam-zam, itu diberikan kepada keturunan ‘Abdud Daar, termasuk Daarun Nadwah. Keturunan Qushay yang lain yaitu Abdul Manaf, tugasnya mengurus jemaah haji (makan, minum, dll-nya). Jadi, ada pembagian tugas di Mekkah.
 
Jadi pembagian tugasnya waktu itu sampai hari ini masih sama. Termasuk kunci Ka’bah, yang memegang sekarang masih dari turunan ‘Abdud Daar. Sementara pengurusan jemaah haji dahulu dari turunan Abdul Manaf, tentu sekarang sudah tidak ada lagi karena jemaah haji sekarang pembiayaannya secara individual.
 
Teruslah mereka saling mewarisi hal ini, sampai di zamannya Abdul Mutthalib. Abdul Mutthalib ini turunan dari Abdul Manaf. Nanti di zaman Abdul Mutthalib ini, tidak ada lagi pembagiaan tugas itu, artinya tinggal memegang kunci ka’bah saja yang dipegang oleh turunan ‘Abdud Daar. Nanti ketika Abdul Mutthalib dinobatkan menjadi raja Mekkah sehingga Quraisy menjadi satu, tidak ada lagi istilah turunan ‘Abdud Daar dan Abdul Manaf.
Masih sejarah dari Abdul Manaf, turunannya terkenal sekali dengan karom (kemuliaannya). Karena mereka merasa memberi makan dan minum jamaah haji adalah sebuah tugas terhormat, sampai air yang mereka datangkan dari luar Mekkah, dibeli dengan harga mahal kemudian dicampur dengan susu dan madu untuk diberikan kepada jamaah haji. Waktu itu mata air zam-zam masih tertimbun, nanti di zaman Abdul Mutthalib baru ditemukan kembali. Ini perilaku yang sangat terkenal dalam sejarah dan jumlah jamaah haji waktu itu sangat banyak.
 
Kalau kita lihat sekarang, sebenarnya masih ada diantara turunan-turunan mereka (Quraisy di Mekkah) melakukan perilaku ini. Dan banyak juga orang-orang yang lain melakukannya, seperti misalnya kalau di Arafah, di Mina, di Muzdalifah, ditemukan banyak kontainer-kontainer membagi susu secara Cuma-Cuma. Membuka pintu kontainer lalu teriak “Sabilillah” kemudian jamaah haji berebutan. Nah, perilaku yang terjadi di zaman Abdul Manaf, itu masih terjadi sampai sekarang, tapi memang sudah tidak ada lagi pengkhususan, siapa saja boleh mengerjakan. Begitupun dengan jamaah haji yang lain, disarankan tidak hanya duduk di kemah, kalau ada kesempatan keluar saja beli makanan lalu bagikan kepada jamaah haji, ini juga termasuk amal yang positif, sehingga ada amal yang plus.
Tentang Daarun Nadwah, ada sedikit sejarah. Di zaman Abdul Mutthalib, Daarun Nadwah yang tadi disebutkan, dipegang oleh salah satu dari turunan ‘Abdud Daar. Pemegang kunci Daarun Nadwah ini punya hak mutlak, sama dengan pemegang kunci pintu Ka’bah, boleh dikunci boleh tidak, bebas, mutlak kekuasaan di tangan dia.
 
Salah satu pemegang kunci Daarun Nadwah (tidak disebutkan namanya dalam sejarah) pernah dipegang oleh seorang pemabuk. Ia pernah menjual Daarun Nadwah kepada salah seorang yang bernama Hakim bin Huzam (orang ini nantinya akan masuk Islam menjadi sahabat Nabi). Hakim bin Huzam ini memegang kunci Daarun Nadwah sejak zaman itu sampai zaman Muawiyah (zaman setelah khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Tidak ada yang merebutnya karena Hakim telah membelinya. Namun, kisah penjualan Darun Nadwah ini sesuatu yang tidak bisa dilupakan oleh ahli sejarah, karena lucu dan aneh kejadiannya.
 
Bagaimana kejadiannya? Hakim bin Huzam ini dekat dan bersahabat dengan pemabuk tadi, pemegang kunci Daarun Nadwah. Sementara mereka duduk, lagi mabuk-mabukan, Hakim berkata kepada pemabuk tadi, “Apakah engkau mau jual Daarun Nadwah buat saya?”.
Temannya (pemabuk tadi) mengatakan, “Iya. Saya akan jual.
 
Hakim bilang, “Berapa kau akan jual?
Dengan seteguk Khamr”. Jadi maksudnya, beri saya seteguk Khamr, saya akan memberikan kunci Daarun Nadwah.
Ini keduanya lagi mabuk.
Hakim bin Huzam bilang, “Baik kalau begitu. Saya beli. Saya tidak hanya memberi dengan seteguk, tapi 1 kendi Khamr”.
Diberikanlah 1 kendi khamr, lalu didatangkan seluruh saksi-saksi, dijual.
Turunan ‘Abdud Daar tidak ada yang bisa protes, karena sudah dijual. Akhirnya, kuncinya berpindah tangan ke Hakim bin Huzam sejak saat itu, sampai di zaman Mu’awiyah.
 
Di zaman Mu’awiyah, tahun 42 Hijriah, setelah setahun Mu’awiyah berkuasa, Hakim bin Huzam radhiyallaahu ‘anhum ini menjual Daarun Nadwah untuk kaum Muslimin (seluruh Mekkah sudah muslim saat itu). Ia menjual dengan 100.000 dinar. Mu’awiyah bertanya padanya, “Hai Hakim, bagaimana bisa kamu menjual Daarun Nadwah, syarafnya Quraisy? Orang Quraisy dulu sangat bangga dengan ini, kenapa kamu menjualnya hanya dengan 100.000? Kalau kamu menjual dengan lebih dari itu, mungkin bisa. Atau kamu tidak usah jual sehingga sejarah mencatat kamu sebagai pemegang satu-satunya.
 
Kata Hakim bin Huzam, “Wallaahi Amiirul Mu’minin. Saya dulu membeli ini hanya dengan seteguk khamr. Kalau sekarang saya menjual 100.000 dinar, itu jauh sekali beda harganya.” Kemudian dilanjut dengan kalimat yang luar biasa, Islam datang memuliakannya, kata Hakim bin Huzam, “Wahai Amiirul Mu’minin, hari ini bukan lagi kemuliaan karena rumahnya Qushay bin Kulab (artinya kisah Daarun Nadwah sudah habis, sudah gak ada lagi ceritanya), tapi sekarang kemuliaan karena ketaqwaan kepada Allah. Dan ini saya jual, wahai Amirul Mu’minin, bukan karena saya butuh uang (waktu itu Hakim bin Huzam adalah orang yang kaya raya), tapi saya memberikan kesaksian kepada Anda dan seluruh manusia menyaksikan, bahwasanya 100.000 dinar yang saya dapat itu saya infakkan di jalan Allah.
 
Ini sedikit kisah tentang Daarun Nadwah. Dibahas oleh para ahli sejarah karena kisah penjualannya yang unik.
 
Kembali ke kisah Abdul Manaf.
Abdul Manaf ini punya anak, yang masyhur bernama Hasyim. Hasyim ini punya anak lagi, namanya Syaibah.
 
Kita fokus ke Syaibah. Syaibah ini nama asli dan ia lebih terkenal dengan nama julukannya. Nama julukannya Abdul Mutthalib. Disini ada kisah tersendiri mengapa nama Abdul Mutthalib lebih masyhur dibanding nama aslinya, Syaibah.
 
Kisahnya…
Bersambung..
(Transkrip dari ceramah “Shirah Nabawiyyah” oleh Ust. Dr. Khalid Basalamah -hafidzahullaah

Mungkin Anda Menyukai