Masa Sebelum Nabi Dilahirkan (3)

Waktu malaikat datang ke rumah Ibrahim ‘alaihissalaam, seperti apa kejadiannya?
Allah sebutkan dalam surah Adz Dzaariyat (surah ke 51) ayat 24-30:
“Sudah sampaikah kepadamu hai Muhammad cerita tentang tamunya Ibrahim?” (dua malaikat yang datang untuk menghancurkan kaum Luth).
 
Kisahnya bagaimana? Yaitu “Malaikat-malaikat yang dimuliakan” kata Allah di ayat 24.
Ayat 25 “Ingatlah, ketika mereka datang ke tempat nya Ibrahim dan mengucapkan ‘Salaamun’ atau keselamatan bagimu wahai Ibrahim”,

Ibrahim pun menjawab “Salaam (juga, artinya keselamatan untuk kalian), sesungguhnya kalian orang-orang yang tidak dikenal” kata Nabi Ibrahim kepada dua malaikat tadi. Ibrahim pun karena terkenal dengan karomnya, sangat ringan tangan, sangat suka dengan tamu, maka pada saat malaikat yang tidak dikenal ini datang, dipersilakan masuk, tidak ditanya siapa kalian, yang pertama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam lakukan adalah beliau secara diam-diam menemui keluarganya di belakang (di dapur) kemudian dia menyembelih seekor anak sapi yang gemuk.
 
Langsung dimasak dan dihidangkan kepada tamunya (tanpa menanyakan siapa kalian). Ini sebuah perilaku yang kata ulama tafsir mengatakan contoh yang sangat baik dari nabi Ibrahim ‘alaihissalaam. **Kalau sudah ada yang datang ke rumah, tidak usah dimulai dengan suudzon dulu (siapa orang ini dan segalanya), berikan sesuatu mungkin minuman atau makanan lalu ditanya ada apa kira-kira kebutuhannya.** Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam melakukan itu dalam ayat ini.
 
Lalu, tatkala dihidangkan kepada dua malaikat tadi, Ibrahim lalu berkata “Silakan di makan”, ini ayat 27.
Ayat 28, “Tapi mereka tidak mau makan. Karena itu, Nabi Ibrahim merasa takut terhadap mereka.
 
Mereka (malaikat) berkata ‘Janganlah kamu takut’, dan menyampaikan berita gembira kepada Ibrahim tentang akan lahirnya seorang anak bagi Ibrahim yang bernama Ishaq”, inilah dari Sarah.
Ayat selanjutnya “Kemudian istrinya (Sarah) datang memekik lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata ‘Sesungguhnya aku seorang wanita yang tua dan mandul”.
Lalu para malaikat menjawab “Demikianlah Tuhan kalian memfirmankan, sesungguhnya Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala mampu membuat apapun bahkan Allah mampu membuat semua wanita hamil tanpa laki-laki kalau Allah mau, bisa melahirkan anak, bisa punya keturunan tidak harus berhubungan biologis antara suami istri, tapi itu kekuasaan Allah ‘azza wa jalla.
 
Akhirnya, Sarah hamil dan melahirkan seorang anak yang bernama Ishaq. Inilah sebab Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diberi julukan abul Anbiya’ (ayahnya para Nabi), karena dari dua istrinya, dua-dua anaknya nabi; Ismail dan Ishaq.
 
Setelah Sarah melahirkan, Allah ‘azza wa jalla memerintahkan Ibrahim ‘alaihissalam untuk membawa Hajar dan anaknya Ismail ke Mekkah. Waktu akan pergi, Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam tidak menceritakan kepada Hajar dan anaknya Ismail (waktu itu Ismail masih kecil, masih menyusui). Dibawa saja naik unta sampai tiba di Mekkah.
 
***Mekkah waktu itu padang pasir, tidak ada pohon, tidak ada orang, lembah. Kalau kita liat gambar aslinya Ka’bah, itu ada pegunungan di sekelilingnya dan itu lembah. Itulah hikmahnya disana tidak pernah hujan. Satu kali hujan pasti banjir, karena memang lembah. Jadi kalau turun hujan dari gunung, pasti numpuk semua di Ka’bah, seperti kejadian beberapa tahun yang lalu, banjir sampai di pintu Ka’bah.
Mekkah waktu itu tidak ada pohon, tidak ada makanan, tidak ada orang, tidak ada kehidupan, padang pasir (lembah). Sebagian ulama mengatakan, memang asalnya Ka’bah itu asasnya sudah ada dan pernah Ka’bah itu dibangun oleh Adam ‘alaihissalam dengan anaknya (Shith) (yang banyak kita ketahui Habil dan Qabil, tapi ada lagi yang bernama Shith, jadi nabi Adam memiliki banyak anak). Shith ini anak yang sangat sholeh, tapi dia tidak diangkat menjadi nabi, karena sudah disepakati 10 abad dari zaman nabi Adam ‘alaihissalaam itu tidak ada syirik, tidak dibutuhkan nabi. Nanti setelah adanya kesyirikan barulah Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Idris ‘alaihissalaam.***
 
Lalu dibawalah Ismail ‘alaihissalaam dan ibunya Hajar oleh Ibrahim, tiba di lembah lalu diletakkan saja, ditaruh “Silakan turun disini”. Hajar bingung. Dalam riwayat shohih, Hajar berkata “Hai Ibrohim, apakah Anda meletakkan kami di lembah ini, tidak ada kehidupan, tidak ada orang?” Kemudian Nabi Ibrahim waktu itu langsung mau jalan. Jadi tidak ada keterangan, tidak ada kejelasan, kita mau buat apa disini. Nabi Ibrahim merasa sedih sebenarnya, tapi ini kan perintah, perintah Allah cuma datang, wahyunya apa? “Antar istrimu dan anakmu (Hajar dan Ismail) ke Mekkah, di lembah”, itu saja, selesai. Untuk apa disana tidak jelas. Ditaruh saja disitu, pokoknya perintah Allah begitu. Nabi Ibrahim patuh saja, taruh istri dan anaknya tanpa penjelasan. Karena dia merasa sedih, dia tidak melihat ke Hajar, dia terus membelakangi. Hajar mengikuti dari belakang, “Hai Ibrohim, apakah engkau membiarkan kami di lembah ini?”. Nabi Ibrahim tidak jawab, sampai tiga kali bertanya.
 
Akhirnya Hajar berkata, dalam riwayat Shohih menjelaskan bagaimana keimanan Hajar (Hajar tahu Ibrahim adalah seorang nabi Allah), ia mengatakan “Aaallaaahu amaroka bihadza”, “Apakah Allah yang menyuruh engkau melakukan ini?”, maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam menganggukkan kepalanya sambil menangis (sedih).
 
Maka Hajar menjawab pertanyaan membesarkan jiwanya dan suaminya juga dan mengatakan dengan keyakinan luar biasa “Kalau begitu, Allah tidak akan membiarkan kami”.
 
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun mengikuti wahyu, langsung pulang. Hajar, kisahnya sendirian sama Ismail, lalu akhirnya dia duduk di padang pasir, tidak ada sebuah pohon pun yang menaunginya, menyusui anaknya. Setelah beberapa saat, dia merasa kekurangan, haus, panas, butuh air. Maka dia pun keliling mencari air. Tidak ditemukan di sekitar situ. Lalu akhirnya dia mendapati dua bukit yang sudah kita kenal; Shafa dan Marwah. Naiklah dia ke Shafa, sebuah gunung yang besar (*sekarang tentu sudah keliatan tidak besar karena sudah di keramik, dulu gunungnya sangat tinggi).
Kenapa Hajar naik ke Shafa? Karena di padang pasir, kalau tempat itu kering sekali, biasanya matahari itu sangat panas, nanti mataharinya itu bisa memantulkan cahaya air dari tempat lain (fatamorgana, yang nyatanya tidak ada). Itu sering terjadi karena panasnya cuaca.
 
Jadi, Hajar melihat dari Shafa , seakan-akan di gunung Marwah itu ada air. Mulailah Hajar sai, artinya berjalan, turun. Di tengah-tengah lembah, disitu mulai menukik ke bukit Marwah. Agar gampang naik ke atas, maka Hajar lari. Lari dulu supaya nanti naik ke atas (Marwah) itu bisa lebih gampang. Naiklah ke Marwah. Dilihat lagi ke arah Shafa seakan-akan ada air (padahal gak ada). Hajar turun lagi, ke Shafa, bolak balik sampai tujuh kali.
 
Apa sentuhan imaniyah dari peristiwa ini? Hajar ‘alaihassalaam karena memang patuh kepada Allah dan mengikuti perintah suaminya tadi, lalu, apapun yang dia kerjakan termasuk sa’i tadi mencari air untuk Ismail, niatnya hanya sebagai seorang ibu saja, karena dia tulus untuk itu, Allah jadikan selama orang sa’i sampai hari kiamat, Hajar PANEN pahalanya.
 
Ini dari sisi imaniyah yang tidak disadari.
Apa pelajaran paling besar? Bahwasanya, siapapun yang mengerjakan sesuatu karena Allah (ex: berjalan ingin menjenguk orang tuanya, menjenguk saudaranya yang sakit, membantu orang), setiap langkah bernilai PAHALA di sisi Allah. Dan pasti ada bekasnya, selama ketulusan itu ada. Disini Hajar, hanya sekedar mau cari air buat anaknya, gak ada pikiran lain, tapi itu perilaku yang baik. Dan tadi itu dia patuh dengan perintah Allah, kepada suaminya, dan dia dukung suaminya untuk itu, maka Allah subhanahu wata’ala memudahkan. Selama sa’i, bayangkan nih kalau orang sa’i, jutaan orang disitu, berapa banyak tuh pahalanya. Kalau Allah catat satu pahala saja per orang, kali sekian juta, kali setiap hari sampai hari kiamat, itu berapa banyak pahala yang dipanen oleh Hajar ‘alaihassalaam. Berarti bentuk ketaatan kepada Allah dan suami itu sesuatu yang LUAR BIASA bagi seorang wanita.
 
Kita kembali ke poinnya. Setelah tujuh kali ia berjalan, barulah Hajar menyadari ternyata tidak ada air disini. Dan Ismail itu ditinggal sendiri, karena tempatnya Ismail cukup jauh dari situ. Ternyata waktu Hajar sudah keletihan (capek) mencari (air) tapi tidak dapat, ada beberapa atsar, tapi yang paling rojih sebenarnya Jibril ‘alaihissalam datang, tapi tidak dilihat oleh Hajar, lalu mengebaskan sayapnya sehingga membuat tanah di padang pasir itu mengeluarkan mata air yang kita kenal dengan ZAM-ZAM. Ada riwayat lain yang mengatakan air Zam-zam itu keluar dari bekas telapak kaki untanya nabi Ibrahim ‘alaihissalaam, tapi ini marjuh (pendapat yang tidak terlalu kuat). Lebih kuat tadi Jibril ‘alaihissalaam yang datang. Ada pendapat lain juga yang mengatakan bahwasanya keluar dari hentakan kaki nabi Ismail pada saat menangis. Tapi yang paling kuat adalah Jibril ‘alaihissalam datang dan mengebaskan dengan sayapnya sehingga keluarlah mata air tersebut.
 
Ada pertanyaan kecil, selama ini kita tahu Zam-zam itu namanya air, tau gak apa artinya Zam-Zam? Jadi, Zam-zam itu pada saat dilihat airnya oleh Hajar ‘alaihassalaam, karena gembiranya, maka beliau membuat seperti bendungan dari pasir yang dikumpulkan, takutnya airnya habis, karena ini padang pasir. Maka dikumpullah, sambil mengucapkan “ZAM-ZAM”, “berkumpullah, berkumpullah”. Jadi ZAM-ZAM artinya BERKUMPUL. Maka ditutuplah. Kata Nabi sallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Bukhari Muslim, “Semoga Allah merahmati ibunya Ismail”, kalau dia biarkan, maka akan menjadi lautan yang luas. Tapi, karena ketakutannya seorang ibu, jangan sampai habis ini air, maka ditutuplah/ditahan. Jadi akhirnya dia Cuma sekedar seperti mata air.
 
Akhirnya, Hajar ‘alaihissalaam minum dari situ, mulailah hidup (karena yang paling penting air), dan SUBHANALLAH, sebagaimana dalam hadits shohih dikatakan, zam-zam bagi orang yang meminumnya, boleh niat apa saja. Sebagaimana imam Syafi’i rahimahullah mengatakan “Saya minum Zam-zam dengan tiga niat; saya minta agar panahan saya tidak pernah meleset, dan itu berhasil (panahannya tidak pernah lagi meleset setelah minum zam-zam), kedua, saya (Imam Syafi’i) meminta agar menjadi ‘alimnya Muslimin (ulama), dan yang ketiga, saya meminta dimasukkan syurga dengan minum zam-zam. Jadi jangan minum zam-zam Cuma minta disembuhkan penyakit, itu kecil. Minta semuanya. Tapi zam-zam, bukan datang kepada orang yang dianggap pintar, akhirnya diludahi trus diminum. Itu penipuan terhadap masyarakat. Jangan pernah Anda minum air yang ditiup-tiup oleh orang, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukan itu (meniup-niup air apalagi meludah, baik kalau sikat gigi, kalau tidak?! bisa saja mentransfer penyakit). Kata Nabi sallallaahu ‘alaihi wa sallam “Zam-zam itu minuman sekaligus makanan yang mengenyangkan”. Itu hadits shohih. Makanya jika orang minum zam-zam itu sudah cukup walaupun tidak makan. Beberapa sahabat pernah selama tiga pekan di Mekkah, mereka tidak makan apa-apa, Cuma minum zam-zam dan tercukupkan. Itu karunia Allah ‘azza wa jalla kepada ummat ini.
 
Hiduplah Hajar pada saat itu. Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam waktu pulang, dalam perjalanan, berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala “Ya Allah, aku meninggalkan istri dan anakku di sebuah lembah, tidak ada sedikitpun pohonnya”, rumput pun tidak ada, kosong sama sekali. Kemudian Ibrahim melanjutkan “di lokasi/tempat rumahmu yang muharrom”, disini poinnya. Ini menandakan (kata ulama tafsir), ka’bah itu asasnya sudah ada dan mulailah mereka (ulama) menjabarkan dengan beberapa atsar yang menyebutkan bahwasanya pernah dibangun oleh Adam ‘alaihissalaam dan Shith, kemudian dengan berjalannya waktu, hancur. Nanti Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam diperintahkan untuk membangun kembali ka’bah. Jadi Ka’bah bukan baru dibangun pada saat itu tapi pondasinya sudah ada sebelumnya, lalu dibangun kembali.
 
Lalu, Nabi Ibrahim pada saat berdoa, Nabi Ibrahim pun menyebutkan dalam do’anya yang masyhur yang mengatakan “Kirimlah orang-orang kepada istri dan anak saya, supaya mereka tidak sendirian”. Maka Allah subhanahu wa ta’ala pun menerima doanya.
Apa yang terjadi? Ada sebuah kasus yang terjadi pada saat itu.
 
Bersambung…
(Transkrip dari ceramah “Shirah Nabawiyyah” oleh Ust. Dr. Khalid Basalamah -hafidzahullaah-)

Mungkin Anda Menyukai